Selasa, 10 April 2012

peranan ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian indonesia


Peranan ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian
Di Indonesia









Nama                   : Lastika Febriyanti
Npm           : 34209491
Kelas          : 3DD04











Kata Pengantar

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, sehingga makalah Ekonomi Kerakyatan sebagai tugas softskill  ini dapat saya selesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah SoftSkill di Universitas Gunadarma.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam memberi support dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata saya ucapakan banyak terima kasih.













BAB I
Pendahuluan
            Krisis hutang yang melanda negara-negara periferi Eropa dan Amerika belum mencapai solusi jangka panjang. Hal ini berdampak terhadap perekonomian global dan perekonomian Indonesia, akan tetapi dampak krisis global terhadap Indonesia tidak begitu buruk dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar terdepresiasi namun masih dalam kondisi lebih baik dibandingkan bulan lalu. Krisis global juga berdampak terhadap ekonomi kerakyatan, yang terkait lebih banyak terhadap kegiatan UKM/UMKM. Ekonomi  tersebut perlu didorong oleh kebijakan pemerintah seperti dengan modal yang tidak sulit, akses kredit dari bank murah namun tidak sulit didapat dan tidak perlu agunan. Akses tersebut didukung oleh teknologi dan jumlah bank di wilayah tersebut. Program ekonomi kerakyatan merupakan lending model dalam pelayanan jasa perbankan yang diikuti dengan akses jarak dan teknologi dari perbankan yang dibutuhkan oleh smua lapisan masyarakat.

Kasus yang sering terjadi dalam ekonomi kerakyatan misalnya sektor pertanian, sektor tersebut terkait irigasi untuk pertanian yang hanya 54 % dalam kondisi baik sisanya buruk dan buruk sekali. Sedangkan Indonesia sedang mencanangkan program swasembada pangan ± 4 ton/hektar. Politik anggaran terkait subsidi benih dan pupuk lebih kecil dibandingkan dengan subsidi BBM sehingga tidak mengembangkan para petani. Akan tetapi tidak ditunjang dengan kemajuan serta perbaikan sektor irigasi, sehingga produktivitas padi perlu jadi pengkajian MP3Ei terhadap sektor pertanian. Pemerintah perlu menjaga ketahanan pangan, jangan dulu menggenjot ekspor pangan karena kebutuhan pangan di domestic sangat diperlukan saat ini. Selain itu, terkait dengan penanganan ekonomi daerah bahwasanya pemerintah perlu menangani ekonomi rakyat yang didukung oleh micro finance dari bank-bank di Indonesia (bank pemerintah maupun bank swasta). Pemerintah juga harus menjaga stabilitas perekonomian kerakyatan dengan kemajuan sektor UKM, hal ini dikarenakan UKM nantinya dapat menjadi kontribusi yang cukup besar terhadap GDP dan akan menjadi basis ekonomi daerah atau ekonomi kerakyatan.

BAB II
Pembahasan
Pengertian Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah
mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
Tinjauan Konseptual ”Ekonomi Kerakyatan”
Konsep “ekonomi kerakyatan” atau adakalanya disebut “ekonomi rakyat” yang kini dikenal luas telah menapaki jalan panjang yang berliku. Selain Bung Hatta, beberapa pemikir yang belakangan gencar memperkenalkan dan memperjuangkan “ekonomi kerakyatan” antara lain adalah Mubyarto, Kwik Kian Gie, dan kemudian meluas dalam kalangan LSM. Meski demikian, eksistensi konsep ekonomi rakyat sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah hingga kini timbul tenggelam karena ketidakpastian komitmen rezim yang berkuasa.
Dari sisi etimologis, menutut Mubyarto, ekonomi rakyat bukan berasal dari dua kata yang terpisah, yakni “ekonomi” dan “rakyat” tetapi muncul sebagai lawan dari “ekonomi konglomerat”. Intinya, ekonomi rakyat adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 45 dan sila ke empat Pancasila (Bobo, 2003). Artinya, rakyat harus berpartisipasi penuh secara demokratis dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan tidak menyerahkan begitu saja keputusan ekonomi kepada kekuatan atau mekanisme pasar. Ukuran apakah sistem ekonomi rakyat telah dijalankan atau tidak, terletak pada implementasinya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam ekonomi rakyat, aturan mainnya adalah keadilan ekonomi, yaitu aturan main tentang ikatan-ikatan ekonomi yang didasarkan pada etika.




Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
  • berdaulat di bidang politik
  • mandiri di bidang ekonomi
  • berkepribadian di bidang budaya
Yang mendasari paradigma pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial
  • penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
  • pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural
  • pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
Sekilas tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan 
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
“Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
  • Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
  • Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
  • Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
  • Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
  • Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota   masyarakat
  • Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak terlantar.
  • Terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
  •  Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
  • Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.

LIMA HAL POKOK YANG HARUS SEGERA DIPERJUANGKAN AGAR SISTEM EKONOMI KERAKYATAN TIDAK HANYA MENJADI WACANA SAJA
  • Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
  • Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition)
  • Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah
  • Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap
  • Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi
Sistem Ekonomi Kerakyatan
Sistem ekonomi kerakyatan berlaku di Indonesia sejak terjadinya Reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Pemerintah bertekad melaksanakan sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan. Pada sistem ekonomi kerakyatan, masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha.
Sistem ekonomi kerakyatan mempunyaiciri-ciriberikutini:
a.Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b.Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
c.Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d.Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
e. Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
Ekonomi Kerakyatan merupakan amanat konstitusi Undang-Undang 1945. Jika didefinisikan, ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang menekankan pada keadilan dalam penguasaan sumberdaya ekonomi, proses produksi dan konsumsi. Dalam ekonomi kerakyatan ini kemakmuran rakyat lebih diutamakan daripada kemakmuran individu. Sedangkan Ekonomi Rakyat adalah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy“, atau “extralegal sector“.
Ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Hendaknya, perubahan paradigm tersebut dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.
Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya political will, tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri.
Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action.  Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.
Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.  Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang.  Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. 
Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat  counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya.
Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat.  Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai tahapan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangannya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat.  Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat.Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru
Pelaku Utama dalam Sistem Perekonomian Indonesia
Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1) adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.

Ekonomi kerakyatan dapat menjadi alternative
Hingga saat ini definisi atau batasan usaha kecil dan menengah belum ada pembahasan yang tuntas, sebab  tinjauan dari segi kriteria, baik yang menyangkut modal dan jumlah tenaga kerja berbeda-beda. Namun ada beberapa pendekatan untuk membuat batasan usaha kecil, dimana pada garis besarnya pendekatan itu dapat dilakukan secara kuantitatif dan manajemen.
Dari sudut kuantitatif biasanya jumlah tenaga kerja berkisar pada 5 – 20 orang, sedangkan dari segi modal, maka modal bersih atau harta perusahaan bisa mencapai 600 juta dan dari sisi omset atau penerimaan penjualan biasanya sampai RP 50 juta perbulan. Sementara tingkat teknologi  yang digunakan oleh usaha kecil, menengah dan koperasi pada umumnya adalah teknologi rendah sampai sedang.
Dari sudut manajemen berarti bahwa pengelolaan usaha kecil belum menunjukkan adanya spesialisasi fungsi-fungsi manajemen secara terpisah (PPM;1997).
Dalam Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil pasal 1 ayat 1 (satu) dikatakan, bahwa usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini. Sedangkan ayat 2 (dua) memuat pengertian usaha menengah dan besar yakni kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.
Pasal 5 ayat 1  (a) dinyatakan bahwa kekayaan bersih yang dimiliki usaha kecil paling banyak adalah Rp 200 juta dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar.
Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan di atas, pada hemat penulis yang dimaksud dengan usaha kecil adalah suatu kegiatan ekonomi skala kecil yang mempunyai tenaga kerja berkisar antara 5 sampai dengan 20 orang dengan omset tahunan sekitar Rp 600 juta sampai dengan Rp 1 milyar, dan modalnya rata-rata Rp 200 juta – Rp 600 juta dengan tingkat teknologi yang relatif sederhana dan belum memfungsikan pilar-pilar manajemen secara terspesialisasi.
Sedangkan usaha menengah menurut BPS  (1997) dalam Ringkasan Eksekutif Industri besar dan sedang adalah kegiatan ekonomi yang jumlah tenaga kerjanya berkisar antara 20 sampai dengan 99 orang. Dan tentu saja menurut hemat penulis omset dan modalnya lebih besar  dari usaha kecil, tingkat teknologinya lebih baik dan mengarah pada terspesialisasinya fungsi-fungsi manajemen (marketing, produksi, SDM dan finance).
Biasanya usaha kecil seringkali diidentikkan dengan idiom ekonomi kerakyatan, namun pengertian ekonomi kerakyatan masih rancu dan cenderung disamakan artinya dengan ekonomi rakyat. Padahal istilah ekonomi kerakyatan atau sering disebut sebagai demokrasi ekonomi bukan merupakan sebutan yang baru di Indonesia. Istilah ekonomi kerakyatan sendiri secara resmi tertulis dalam satu paragraf pasal 33 UUD 1945. Dimana dalam pasal 33 tersebut tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Dari pengertian di atas,  dapat diterjemahkan bahwa sebenarnya pelibatan semua elemen masyarakat dalam aktivitas usaha menjadi suatu keharusan, yakni produksi yang notabene selama ini banyak dikerjakan oleh beberapa kelompok saja. Dalam paragraf tersebut jelas-jelas dinyatakan  yaitu diharuskan kepemilikannya pada anggota-anggota masyarakat. Ini juga berarti bahwa pencerminan distribusi dan hasil-hasil proses  produksi dari aktivitas usaha tersebut bertujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang yang selama ini terjadi pada berbagai perusahaan baik swasta (besar dan konglomerat) maupun negri (BUMN).
Dalam penggalan akhir paragraf tersebut dinyatakan bahwa bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi. Berarti sistem yang hendak dibangun dalam konteks ekonomi kerakyatan adalah koperasi, sebab koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional.
Pengamat Ekonomi Umar Juoro (1999)  mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijakan, dan strategi pengembangannya. Ini artinya bahwa ekonomi kerakyatan bukan sekadar hal yang bersifat parsial dan karikatif, namun lebih kepada tatanan atau konstruksi menyeluruh antara satu dengan lainnya yang disebut oleh Umar juoro sebagai sistem. Ini juga menandakan bahwa karena ekonomi kerakyatan merupakan sistem, sehingga di dalamnya terkandung terminologi, gagasan atau ide-ide, kebijakan dan strategi yang dapat dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula.
Masyhuri mengutip Pakar Ekonomi Kerakyatan Mubyarto (1998:132) mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi (demokrasi) yang dioperasionalisasikan melalui pemihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat (kecil). Selanjutnya pada bagian lain, Mubyarto (1998:100) mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang didasarkan pada sila ke-4 pancasila yakni ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.   
Definisi yang diungkapkan oleh Mubyarto tersebut, menurut hemat penulis mengandung tekanan yang lebih jelas, yakni kata pemihakan dan perlindungan pada sektor ekonomi rakyat. Ini mengindikasikan bahwa selama ini juga ada pemihakan dan perlindungan, sayangnya pemihakan tersebut ditujukan bagi kalangan ekonomi besar (konglomerat) dengan dukungan fasilitas dari birokrasi. Begitu pula perlindungan bagi mereka berupa berbagai proteksi dan tax holiday.
Dari definisi tersebut bila mengacu pada sila ke –4, maka demokrasi ekonomi yang hendak dibangun itu harus diimplementasikan dengan cara-cara santun, toleran, kebersamaan dan dalam kerangka perwakilan secara musyawarah dan mufakat. Kata perwakilan bisa diartikan bahwa dewan perwakilan rakyat (DPR) yang merupakan penjelmaan dari rakyat seharusnya berperan serta dan aktif mengambil bagian untuk memikirkan hal ini. Namun pada realitanya bentuk perwakilan ini sering tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dari pemaparan dan definisi tersebut, penulis mencatat ada beberapa kata kunci dalam pengertian ekonomi kerakyatan. Pertama pengertian ekonomi kerakyatan tidak sama dengan ekonomi rakyat. Kedua, ekonomi kerakyatan adalah suatu jargon yang sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia dan merupakan satu kesatuan sistem yang di dalamnya terkandung strategi, kebijakan, regulasi dan implementasi. Ketiga, ekonomi kerakyatan diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dan bukan kesejahteraan segelintir orang ataupun kelompok. Keempat, ekonomi kerakyatan membutuhkan political will pemerintah berupa pemihakan dan perlindungan bagi jaminan terselenggaranya aktivitas secara berkesinambungan di seputarnya.
Seperti di singgung di atas, khususnya poin pertama bahwa ekonomi kerakyatan berbeda pengertiannya dengan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat menurut Mubyarto dalam Masyhuri (1996:150) ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat bekerja atau mencari nafkah untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Misalnya bagaimana  membuka peluang  bidang usaha bagi pedagang kaki lima dan usaha kecil lainnya untuk mendapatkan ruang gerak bagi kesinambungan usahanya.
Umar Juoro (1999) mendefiniskan ekonomi rakyat sebagai pelaku ekonomi  yaitu rakyat sendiri baik dalam bentuk koperasi, usaha menengah, usaha kecil maupun usaha gurem (usaha besar tidak termasuk ekonomi rakyat).
Baik Umar dan Mubyarto ‘bersepakat’ bahwa pelaku ekonomi untuk mencari nafkah yakni rakyat sendiri. Hanya  saja menurut pendapat Mubyarto bangun usaha yang sesuai cenderung pada koperasi sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, sedangkan Umar berpendapat bahwa bangun usahanya tidak saja koperasi namun usaha-usaha lain, kelas menengah dan kelas gurem juga termasuk di dalamnya. Secara ringkas Masyhuri (2000:151) menyatakan bahwa ekonomi rakyat adalah ekonomi usaha kecil dan Gurem (UKG).
Dari pengungkapan pengertian ekonomi rakyat tersebut, menurut hemat penulis pada prinsipnya pengertian ekonomi rakyat adalah aktivitas ekonomi yang pelaku-pelakunya adalah rakyat sendiri dan bentuk usahanya masih dalam kapasitas yang relatif kecil sampai menengah dengan bangun usaha baik koperasi atau usaha kecil dan menengah lainnya. Sarbini Sumawinata dalam bukunya Politik Ekonomi Kerakyatan (2004,22) mengatakan bahwa, ekonomi kerakyatan adalah pelaksanaan strategi pembangunan berdasarkan pembagian merata dan meluas dalam kesempatan berusaha. Dengan penyebaran secara luas, baik secara horizontal (meliputi seluruh wilayah) maupun vertikal (daerah perkotaan maupun khususnya pedesaan), investasi-investasi dalam segala usaha yang produktif dan efisien, terciptalah fondasi yang kuat bagi keadilan dan pemerataan.
Melalui investasi di bidang barang dan jasa, termasuk bidang pendidikan, spiritual dan kebudayaan, didukung penyebarluasan tenaga listrik dan infrastruktur (transportasi dan komunikasi), terpampanglah landasan bagi kegiatan yang dapat mengikutsertakan secara aktif seluruh lapisan masyarakat pada usaha-usaha di semua segi kehidupan masyarakat. Berbeda dengan metode welfare state di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dimana metode tersebut mengutamakan membagi kembali sebagian hasil produksi kepada mereka yang kurang beruntung. Ekonomi kerakyatan lebih menekankan kepada pembagian kesempatan, yang berarti membagi rata pengikut sertaan seluruh masyarakat pada kegiatan ekonomi, sosial dan politik.
Lebih lanjut Sarbini Sumawinata (2004;22-23) menjelaskan, terdapat perbedaan gagasan dasar antara kapitalisme dan kerakyatan. Gagasan dasar kapitalisme bersifat eksklusif, yakni mengeluarkan sebagian dari masyarakat yang dianggap tidak mampu ikut serta dalam pengejaran kemampuan dan pencapaian keuntungan yang maksimal. Sedangkan kerakyatan dasarnya adalah suatu ideologi yang bersifat inklusif, yakni mengikutsertakan secara aktif masyarakat di semua kegiatan. Inklusivitas kerakyatan ini belaku juga dalam bidang politik. Dengan demikian, ideologi kerakyatan mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan persoalan masyarakat sendiri.
Di negara-negara kapitalis, terjadi pemerataan di bidang politik atas dasar one man one vote. Akan tetapi, bidang ekonomi bersifat survival of the fittest. Di dalam masyarakat modern, hal ini terjadi dalam bentuk penganggur-penganggur. Orang-orang yang dianggap tidak mampu mengejar efisiensi dan produktivitas terpelanting ke pinggir sebagai penganggur. Inilah proses eksklusivisme yang melekat pada kapitalisme. Pada mulanya pengangguran dianggap perkecualian dan tidak terlalu mengganggu. Namun, dalam dua dekade terakhir ini negara-negara Eropa Barat dan Jepang dilanda jumlah pengangguran yang sangat besar (lebih dari 10 %). Keadaan ini bertahan lebih dari dua dekade dan merupakan tanda kegagalan dan kelemahan kapitalisme yang makin lama makin cukup serius.
Sebagian hasil produksi tidak diberikan kepada orang-orang yang tidak berperan dalam pembangunan, melainkan secara merata membangun kemampuan rakyat agar mampu menciptakan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dalam bentuk investasi. Setiap investasi berarti penciptaan pekerjaan dan penyediaan alat-alat produksi, baik perangkat keras dan lunaknya. Jadi, investasi meningkatkan kemampuan masyarakat, dengan terciptanya ketrampilan di samping menyediakan alat-alatnya untuk memungkinkan berproduksi.
Tidak mengherankan, kalau krisis global saat ini harus kembali kepada pasar domestik. Kebetulan pemain domestik boleh dibilang banyak didominasi oleh industri kerakyatan atau UKM. Jadi wajar saja bila UKM bisa menajdi penyelamat krisis.


MENGEMBANGKAN EKONOMI RAKYAT SEBAGAI LANDASAN EKONOMI PANCASILA
Kemiskinan Penduduk Pribumi di Jaman Penjajahan
Pierre Van der Eng,seorang sejarawan Belanda menulis tentang strata ekonomi penduduk di jaman penjajahan. Pada tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, 51,1 juta penduduk pribumi (Indonesia) yang merupakan 97,4% dari seluruh penduduk yang berjumlah 60,7 juta hanya menerima 3,6 juta gulden (0,54%) dari pendapatan “nasional” Hindia Belanda, penduduk Asia lain yang berjumlah 1,3 juta (2,2%) menerima 0,4 juta gulden (0,06%) sedangkan 241.000 orang Eropa (kebanyakan Belanda) menerima 665 juta gulden (99,4%). Sangat “njomplangnya” pembagian pendapatan nasional inilah yang sulit diterima para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928 di Jakarta. Kemerdekaan, betapapun sangat “mahal” harganya, harus dicapai karena akan membuka jalan ke arah perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia.Pierre Van der Eng, Indonesia’s Economy and Standard of Living in the 20th Century dalam Grayson Lloyd & Shannon Smith, 2001, Indonesia Today, ISEAS, Singapore, hal. 194.
Kini setelah Indonesia merdeka 58 tahun, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika jaman penjajahan, tetapi konglomerasi (1987-1994) yang menciptakan ketimpangan ekonomi luar biasa, sungguh-sungguh merupakah “bom waktu” yang kemudian meledak sebagai krismon 1997. Dalam 26 tahun (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997), dan Gini Rasio meningkat berturut-turut dari 0,18 menjadi 0,21 dan 0,24.Van der Eng, idem, hal. 197.

Terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun selama 3 dekade, 1966-1996) “tidak diridhoi” Allah SWT dan krismon “diturunkan” untuk mengingatkan bangsa Indonesia.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Q.S. 17 Al Israa’: 16)
Krisis Moneter Mengembangkan Keuangan Mikro
Sejak terjadinya krisis moneter (krismon) yang berakibat langsung pada ditutupnya 16 bank swasta nasional tanggal 1 Nopember 1997, lembaga keuangan mikro berkembang pesat, terutama di perdesaan. BRI yang merupakan lembaga keuangan mikro terbesar di Indonesia yang memiliki 3.825 unit-unit desa di seluruh Indonesia berkembang luar biasa. Di Propinsi DIY jumlah penabung bertambah rata-rata 16,2% per tahun selama 1997 – 2002 dari 457.496 menjadi 950.978 orang. Dan dana tabungan meningkat 26,3% per tahun dari Rp.263 milyar menjadi Rp.788 milyar (tabel 2), berarti setiap orang memiliki tabungan di BRI sebesar Rp. 828.368,-. Penduduk Propinsi DIY tahun 2002 adalah 3,1 juta orang.
Demikian data-data mikro dari lapangan ini, yang tidak pernah dilihat dan dianalisis oleh para ekonom makro, menunjukkan betapa keliru kesimpulan telah “hancur leburnya” ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami krisis serius meskipun sempat kaget, sehingga tidak memerlukan pemulihan. Kesan masih adanya “krisis ekonomi” sekarang ini sengaja ditiupkan dan dibesar-besarkan oleh eks-konglomerat dan para pembelanya termasuk teknokrat. Konglomerat ingin melepaskan diri dari kewajiban membayar utang pada bank-bank pemerintah (BLBI dan obligasi rekap). Masyarakat dan pers kita hendaknya waspada dalam hal ini. Sebaiknya kita tidak ikut-ikutan berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery) jika yang akan kita pulihkan justru kondisi ekonomi sangat timpang “pra-krisis” yang dikuasai konglomerat dan menjepit ekonomi rakyat.
Keuangan Mikro bukan hal baru bagi Indonesia. Yang baru adalah kesadaran dan pengakuan tentang peranan besar yang dimainkannya dalam perekonomian rakyat dan perekonomian nasional. Kenyataan ini mempunyai implikasi besar terhadap teori tentang peranan modal nasional dan upaya-upaya penguatannya dalam pembangunan ekonomi bangsa. Jika ada pakar ekonomi asing mengatakan “the only way for Indonesia’s economic recovery is mass capital inflow from abroad”, maka jelas kami menolak fatwa yang cenderung “ngawur” tersebut.
Fakta tentang peranan besar keuangan mikro dalam perekonomian nasional hendaknya menyadarkan pemerintah tentang perlunya mengkaji ulang teori ekonomi perbankan modern. Kesediaan pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar Rp.650 trilyun untuk “menyelamatkan perbankan modern”, yang bunganya sangat memberatkan APBN, jelas merupakan kebijakan keliru yang tidak berpihak pada kebijakan pengembangan keuangan mikro dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Ekonomi Rakyat sebagai Penyelamat Ekonomi Nasional
Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno (2003) berbicara keras tentang kerusakan bangsa Indonesia yang “hampir sempurna”, sehingga tinggal tunggu waktu dibawa masuk jurang, maka dilihat dalam perspektif ekonomi diartikan bahwa krisis ekonomi dewasa ini sudah amat parah, yang jika dibiarkan pasti akan mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional. Meskipun orang tidak pernah lupa menyebutkan bahwa krisis yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini sudah berciri multidimensi, tokh yang paling sering disebutkan di media massa adalah sebagai krisis ekonomi, bukan krisis politik, krisis hukum, atau krisis moral. Sebabnya tidak lain karena selama 3 dekade Orde Baru, pembangunan ekonomi sudah menjadi “agama”, dengan peranan yang amat dominan dari (perusahaan-perusahaan) konglomerat. Kini ketika konglomerat sudah rontok, yang sulit dibayangkan untuk bangkit kembali karena utang-utang yang sangat besar, maka ekonomi Indonesia secara keseluruhan dikatakan sudah dalam keadaan krisis parah.
Bahwa ekonomi nasional dianggap masih dalam kondisi krisis, faktor-faktornya antara lain adalah kurs dollar yang masih 3 kali lebih tinggi dibanding sebelum krisis moneter Juli 1997, bank-bank masih belum mengucurkan kredit ke sektor riil, dan pemerintah terperangkap dalam beban utang dalam dan luar negeri yang sangat berat. Benarkah faktor-faktor ini cukup? Mengapa inflasi yang sudah benar-benar terkendali sejak 1999 yang kini (2003) berada sekitar 6%, dan pertumbuhan ekonomi yang sudah positif (3-4% pertahun), tidak dianggap sebagai faktor-faktor yang seharusnya tidak lagi menggambarkan kondisi krisis ekonomi? Ekonomi yang krisis adalah ekonomi yang pertumbuhannya terus-menerus negatif dan inflasi merajalela lebih dari 50% per tahun.
Memang pakar-pakar ekonomi makro kita pada umumnya masih mampu berargumentasi dan menunjuk belum adanya investasi terutama investasi asing sebagai salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi rendah. “Jika pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan”, kata mereka. Benarkah?
Diagnosis ekonomi yang bersifat pesimistik masih jauh lebih kuat dibanding diagnosis optimistik, karena pada umumnya pakar-pakar ekonomi kita lebih banyak menggunakan data-data makro sekunder dan tersier di bidang keuangan. Sebaliknya data-data mikro sektor ekonomi rakyat, yang memang tidak tercatat dalam statistik, tidak pernah masuk dalam perhitungan. Inilah yang oleh para ekonom makro yang keblinger disebut dengan ekonomi illegal atau hidden economy.
Ekonomi rakyat di manapun di daerah-daerah benar-benar sudah bangkit, tidak sekedar menggeliat. Usaha-usaha ekonomi rakyat yang disebut (secara tidak tepat) sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah) berkembang di mana-mana dengan pendanaan mandiri atau melalui dana-dana keuangan mikro seperti pegadaian, koperasi atau lembaga-lembaga keuangan mikro “informal” di perdesaan. Misalnya, selama 1995-2002 kredit yang disalurkan Perum Pegadaian meningkat dengan 5,6 kali (560%), dan jumlah orang yang menggadaikan (nasabah) naik 368% (Tabel 2). Di Yogyakarta, anggota KOSUDGAMA (Koperasi Serba Usaha Dosen-dosen Gadjah Mada) yang kini beranggota 5332 orang (74% diantaranya anggota luar biasa, bukan dosen UGM), anggotanya meningkat lebih dari 5 kali lipat selama periode krisis (1998-2002), dengan nilai pinjaman meningkat 11 kali lipat (1116%) dari Rp. 1,04 milyar menjadi Rp. 11,57 milyar satu Baitul Maal (BMT Beringharjo) di kota Yogyakarta dalam periode relatif singkat (1995-2002) telah meningkat omset pinjamannya dari Rp. 50,9 juta menjadi Rp. 5,2 milyar dengan anggota naik dari 393 menjadi 1333 (Tabel 4). Selain itu Koperasi Bina Masyarakat Mandiri yang didirikan 28 “orang gila” tanggal 28 Oktober 1998 di Jakarta, telah membantu 24.873 penduduk miskin di seluruh Indonesia dengan pinjaman Rp. 39 milyar, padahal pada tahun 1999 baru Rp. 440 juta untuk 917 orang (tabel 5).
Dapat disimpulkan bahwa kondisi “amat gawat” yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini tidak terletak dalam bidang ekonomi khususnya ekonomi rakyat, tetapi dalam bidang politik, hukum, dan moral. Korupsi yang makin merajalela yang “menyebar” dari pusat ke daerah-daerah bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah bukanlah “krisis ekonomi” tetapi krisis moral, sedangkan “kerusakan bangsa” yang diklasifikasi sebagai “hampir sempurna” oleh Syafii Ma’arif adalah kerusakan dalam bidang tatakrama atau etika politik, bukan kerusakan ekonomi Indonesia. Disinilah kekeliruan fatal pakar-pakar ekonomi makro yang sejak krismon 1997 menyatakan ekonomi Indonesia telah “mati secara aneh dan tiba-tiba” (the strange and sudden death of a tiger)[4]. Jika ekonomi Indonesia telah diibaratkan sebagai harimau (tiger) yang sudah mati sejak krismon 1997-1998, lalu apa yang terjadi dengan orang-orangnya? Apakah mereka (bangsa Indonesia) juga ikut mati? Inilah tidak realistisnya analisis ekonom yang memberikan konsep-konsep ekonomi abstrak dari manusia-manusia ekonomi (homo ekonomikus) tanpa merasa perlu membumikannya. Yang benar manusia adalah juga homo socius dan homo ethicus.
Hal Hill dalam buku pertama tahun 1993 memuji-muji ekonomi Indonesia sebagai The Southeast Asia’s emerging giant, tetapi kemudian pada tahun 1999 menyebutnya telah mati, the strange and sudden death of a tiger.
Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, 1759.Kerusakan ekonomi bangsa memang hampir sempurna, tetapi bukan kerusakan ekonomi rakyat. Yang rusak adalah ekonomi konglomerat yang pada masa-masa jayanya terlalu mengandalkan pada modal asing yang murah, tetapi setelah terjadi apresiasi dolar 6 kali lipat secara tiba-tiba maka konglomerat-konglomerat tersebut telah benar-benar hancur berkeping-keping. Apakah kondisi ekonomi konglomerasi seperti ini akan kita pulihkan? Pasti tidak. Indonesia sebaiknya tidak usah berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery). Ekonomi siapa yang akan dipulihkan? Ekonomi konglomerat jangan dipulihkan.
Demikian, berbeda dengan pandangan pakar-pakar ekonomi arus utama (main stream), kerusakan ekonomi yang dialami sektor modern/ konglomerat tidak perlu diratapi, dan kita tidak perlu mati-matian memulihkan kondisi ekonomi pra-krisis yang sangat timpang. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, menunjuk pada asas ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dimana ekonomi rakyat mendapat dukungan pemihakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Bahwa sejauh ini pakar-pakar ekonomi arus utama menolak konsep ekonomi kerakyatan, bahkan juga ekonomi kekeluargaan, yang hendak digusur dari pasal 33 UUD 1945, adalah karena mereka secara a priori menganggap ekonomi kerakyatan bukan sistem ekonomi pasar, tetapi dituduh sebagai sistem ekonomi “sosialis-komunis” ala Orde Lama 1959-1966. Pandangan dan pemihakan mereka pada konglomerat yang liberal-kapitalistik memang amat sulit diubah lebih-lebih setelah (istilah mereka) ”Uni Sovyet pun kapok dengan sosialisme, dan RRC juga sudah menjadi kapitalis”. Sudah pasti mereka “keblinger” karena paham sosialisme tidak pernah mati, dan ekonomi RRC tumbuh cepat bukan karena meninggalkan paham sosialisme tetapi karena amat berkembangnya ekonomi rakyat. Ekonomi Indonesia akan tumbuh cepat seperti ekonomi RRC jika mampu mengalahkan virus korupsi yang tumbuh subur sejak awal gerakan reformasi yang telah benar-benar melenceng.
Revolusi Mewujudkan Ekonomi Pancasila
Tanggal 12 Agustus 2002 UGM mendirikan PUSTEP (Pusat Studi Ekonom Pancasila) yang kemudian disambut pembentukan Komisi Ad Hoc Kajian Ekonomi Pancasila pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pendirian PUSTEP-UGM ini kemudian diikuti pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa tanggal 16 Agustus 2003 semuanya berkehendak menyumbangkan teori-teori dan ilmu ekonomi (asli) Indonesia yang benar-benar memberi manfaat pada masyarakat/ bangsa Indonesia khususnya wong cilik.
Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Seorang pengemudi ’speed boat’ Zamrani (26 th) yang hanya tamat SD 6 tahun menegaskan “Ekonomi Pancasila dalam Aksi” di dalam pelayanan jasa transpor di Sungai Mahakam Kaltim, yaitu di antara 79 ‘speed’ dan 60 taksi yang semuanya dimiliki warga Kota Bangun. ‘Speed’ hanya melayani penumpang Melak-Kota Bangun pulang-pergi (Kutai Barat dan Kutai Kartanegara), sedangkan taksi Kijang dan lain-lain kendaraan “mini-bus” untuk jurusan Kota Bangun-Tenggarong-Samarinda, dan Balikpapan. “Bagi-bagi rezeki” ala ekonomi rakyat di Kota Bangun inilah bukti nyata telah diterapkannya asas-asas ekonomi Pancasila di Kalimantan Timur.
Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem (aturan main) ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat. Ketika terjadi krismon 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang, tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat.
Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika). PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat/bangsa Indonesia.
Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, … janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945)
Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang bersifat tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “Kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi.
Kompleksitas krisis multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata ”jihad akbar” yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.

B.     Saran
1.      Bagi penyusun, hasil Makalah ini dapat dijadikan acuan  untuk memperbaiki perekonomian menjadi lebih baik dan sebagai tambahan pembelajaran.

2.      Bagi pembaca, diharapkan makalah ini dapat bermanfaat dan berguna sebagai informasi dan dapat menambah referensi khasanah ilmu pengetahuan.









DAFTAR PUSTAKA

http://terapibisnis.com/artikel-tb/86-ekonomi-kerakyatan-bisa-menjadi-alternatif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar